Perjalanan FILM JUMBO
Waktu menulis artikel ini, jujur gue sempat agak terharu. Bukan karena ikut ambil bagian dalam pembuatan film ini yaaaa, tapi lebih karena perjalanan panjang yang gue saksikan sendiri dari sosok Ryan Adriandhy, sutradara Film JUMBO.
Kalau gak salah waktu itu tahun 2020, Kak Ryan mengumumkan akan membuat film animasi berjudul JUMBO. Sejujurnya gue langsung merasa terharu dan excited banget, karena gue salah satu orang yang ngikutin perjalanan Kak Ryan yang dari yang awalnya dikenal sebagai stand-up comedian, sampai akhirnya bertransformasi menjadi animator.
Kak Ryan pernah beberapa kali update tentang perkembangan film JUMBO lewat akun Twitternya. Tapi sayangnya, saat itu filmnya belum juga rilis. Hingga akhirnya, ada kabar bahwa perilisan JUMBO harus ditunda.
Bertahun-tahun berlalu, rasa penasaran gue tetap ada. Sampai akhirnya, pada Februari 2025, trailer JUMBO resmi dirilis. Wah, gue nggak bohong, rasanya kayak liat mimpi seseorang mulai nyata di depan mata. Gue langsung nunggu banget buat nonton karya Kak Ryan di profesi barunya ini.
Film JUMBO akhirnya tayang di bioskop pada 31 Maret 2025, pas libur Idulfitri. Sayangnya, di hari pertama, jumlah penonton JUMBO “baru” di angka 700 ribuan. Belum sampai satu juta. Banyak yang menyayangkan, kenapa JUMBO bisa kalah saing dengan film-film lain yang tayang di waktu yang sama.
Tapi ajaibnya, hanya dalam beberapa hari, JUMBO mendadak meledak! Bukan cuma sekadar ramai, JUMBO bahkan berhasil menyalip film-film lain yang sebelumnya lebih duluan heboh. Sampai artikel ini gue tulis, JUMBO sudah ditonton lebih dari 4,3 juta orang!
Di titik ini, gue makin yakin. Selain karena kualitas filmnya yang memang heartwarming dan relatable banget, ada “sesuatu” lain yang membuat JUMBO bisa meledak secepat ini.
Sebagai orang yang ngikutin dan sedikit paham soal marketing, gue penasaran: apa sih yang sebenarnya terjadi? Ini maksudnya disamping emang filmnya yang bagus, dan juga OST-nya yang enak banget itu ya.
Dan dari situ, gue mulai menganalisis dari sisi marketingnya, dan ketemu beberapa hal menarik yang menurut gue jadi faktor kunci kesuksesan JUMBO.
Tapi, sebelum gue menjabarkan mengenai teknik marketing apa yang kemungkinan dipakai oleh film JUMBO, perlu disamakan dulu nih persepsinya. Di sini, JUMBO adalah sebuah produk. Jadi, gue akan coba untuk ulas sedikit dari sisi produknya.
Produknya Memang Sudah Oke

Sebelum gue fafifu wasweswos ngasih tau kunci-kunci kesuksesan film JUMBO ini, satu hal yang wajib banget kita semua akui: JUMBO, sebagai produk utamanya, memang sudah bagus!
Gak heran sih. Karena JUMBO tuh dikerjakan lebih dari 400 kreator Indonesia dalam waktu 5 tahun. Jumlah kreator yang sama sekali gak sedikit, dan waktu yang lama.
Mulai dari ceritanya, animasinya, sampai original soundtrack (OST)-nya yang judulnya Selalu Ada di Nadimu, semuanya benar-benar dipikirkan dengan matang. Ini adalah sesuatu yang sebenarnya basic banget sih kalau kita ngomongin konsep marketing mix. Elemen pertama dan paling penting selalu yaitu soal produk.
Produk itu harus bagus, berkualitas, dan dibutuhkan oleh konsumen. Nah, sekarang pertanyaannya: apakah JUMBO memenuhi semua kriteria produk yang bagus? Gue dengan lantang akan menjawab, iya, banget!
JUMBO jelas punya target market yang spesifik. Meskipun secara resmi dikategorikan untuk semua umur (SU), menurut gue pribadi, JUMBO itu sebenarnya dibikin buat dua segmen utama: Anak-anak dan orang dewasa yang kangen masa kecil mereka.
Nah, siapa sih orang dewasa yang nggak kangen masa-masa polos waktu kecil? Seburuk-buruknya masa kecil yang dilalui, pasti ada momen bahagia yang pernah tergores, dan rasanya rindu banget.
Buat anak-anak, ceritanya udah pas banget. Tentang JUMBO dan gengnya yang ikut lomba, menghadapi konflik, lalu belajar tentang nilai persahabatan, kerja keras, dan keberanian.
Sedangkan buat orang dewasa, jujur ini lebih dari sekadar nostalgia. Cerita-cerita tentang perjuangan masa kecil, rasa takut, persahabatan, semua itu langsung nge-trigger kenangan sendiri waktu masih seumuran Don dan kawan-kawannya.
Belum lagi, lagu OST dari JUMBO dibuat dari sudut pandang (POV) orang tua JUMBO, bukan dari JUMBO-nya sendiri loh! Ini makin memperjelas, kalau sebenarnya film ini juga sengaja menyentuh perasaan orang dewasa, yang kini mungkin sudah jadi orang tua, atau yang diam-diam lagi merindukan masa kecilnya.
Jadi, dari segi produk, JUMBO bukan cuma kuat di satu sisi. Tapi benar-benar memenuhi apa yang dibutuhkan dan diinginkan target audiensnya. Seperti yang kita tau ya, produk yang benar-benar kena di hati, bakal mempermudah semua strategi marketing selanjutnya.
Dengan produk sekuat ini, nggak heran kalau kemudian #buzzerJUMBO muncul dengan sendirinya.
Munculnya #buzzerJUMBO di Media Sosial

Fenomena #buzzerJUMBO yang ramai di media sosial sebenarnya adalah contoh nyata dari User Generated Content (UGC) yang terjadi secara alami.
Orang-orang biasa yang bukan tim marketing, bukan buzzer bayaran, dengan sukarela dan kesadaran penuh membuat berbagai macam konten tentang Film JUMBO.
Ada yang bikin review panjang di TikTok, Instagram, Twitter, ngebahas dari jalan ceritanya yang heartwarming sampai ke kualitas animasinya yang keren. Bahkan ni yah, ada juga yang bikin meme-meme lucu bertema JUMBO, yang akhirnya makin memperluas jangkauan film ini ke audiens baru.
Bukan cuma itu, ada juga yang sekadar memberikan reaksi emosional mereka setelah mendengar original soundtrack JUMBO, yang jujur sih, memang sukses banget bikin perasaan campur aduk.

Nggak cuma hal-hal yang positif, dari UGC ini bahkan ada ju1ga yang mengkritik film ini. Tapi justru itu makin memperkaya obrolan, memperluas diskusi, dan tetap membantu menaikkan awareness filmnya
Semua ini bisa ada karena satu alasan sederhana: orang-orang beneran terhubung sama produknya, yaitu film JUMBO itu sendiri. Penonton merasa relate, terhibur, tersentuh, dan secara natural pengen cerita ke dunia tentang pengalaman mereka. Bukan karena disuruh, bukan karena ada arahan. Ini bener-bener, murni bentuk cinta terhadap produk yang dibuat sepenuh hati dan tenaga.
Dan inilah yang bikin promosi JUMBO jadi jauh lebih powerful dibanding sekadar iklan biasa. Karena tentu beda rasanya, kalau dapat rekomendasi langsung dari teman sendiri yang ngomong, “Eh, sumpah, lu harus nonton JUMBO deh!” dibanding dapat rekomendasi dari iklan. Ada perasaan percaya yang lebih kuat dan tulus gituu.
UGC yang alami kayak gini sejujurnya susah banget diciptakan kalau produknya sendiri nggak benar-benar menyentuh hati audiensnya. Nah untuk kasus JUMBO, justru itulah yang terjadi: produknya kuat, lalu komunitas bergerak dengan sendirinya.
Bukan cuma UGC, tapi ada kekuatan WOM (Word of Mouth)
Lu harus tau, #buzzerJUMBO ini nggak cuma berhenti di dunia maya aja, loh! Setelah media sosial rame, efeknya lanjut ke dunia nyata lewat kekuatan word of mouth yang luar biasa.
Satu orang yang nonton, merasa puas, akhirnya merekomendasikan film ini ke teman, saudara, bahkan ngajakin keluarganya langsung buat nonton bareng.
Gue sempat lihat banyak tweet seru yang membagikan pengalamannya, salah satunya dari seorang kakak yang bilang, karena film ini aman dan bagus buat ditonton adiknya, akhirnya dia ngajakin adik dan seluruh keluarganya buat rame-rame nonton JUMBO di bioskop.
Dari satu tweet itu, muncul tweet lainnya yang membagikan pengalaman anak-anak yang baru pertama kali masuk bioskop karena pengen banget nonton JUMBO.
Ada juga cerita yang bikin gue merinding luar biasa tentang sebuah sekolah yang sampe menyewa 47 angkot buat bawa murid-muridnya field trip ke bioskop khusus buat nonton JUMBO! Kebayang kan, seberapa besar impact film ini sampai segitunya?
Gue pribadi pun ngalamin hal yang sama. Setelah nonton, rasanya beneran pengen banget nyuruh orang-orang sekitar gue buat nonton juga. Dan akhirnya… ya sekarang gue nulis artikel ini juga gara-gara tergerak sama filmnya! Hahaha.
Jujur, ini menarik banget, karena akhirnya kita bisa tau, ketika cerita positif tentang sebuah produk atau film menyebar secara organik dari mulut ke mulut, tingkat kepercayaannya jadi jauh lebih tinggi, dan akhirnya menggerakkan orang buat menikmati produknya.
Beda sama iklan yang sifatnya “saya jualan”, word of mouth tuh kayak “gue rekomendasiin karena gue peduli”, dan itu priceless banget.
Dan di kasus JUMBO, perpaduan antara User Generated Content (UGC) di media sosial dan word of mouth di dunia nyata ini bener-bener bikin strategi marketing mereka meledak tanpa harus banyak gimmick yang gak jelas!
Bagaimana dengan produk lain?
Melihat kesuksesan JUMBO ini, mungkin banyak yang bertanya:
“Kalau gitu, apakah produk/brand lain juga bisa dapetin UGC dan word of mouth sekuat ini?” Gue menjawab dengan percaya diri, bisa, banget!
Tapi, sebelum ngomongin soal strategi marketing kece, brand harus sadar dan memahami tentang pondasi dasarnya. Karena dalam marketing, budget gede doang nggak cukup kalau pondasi produknya sendiri belum kuat.
Seperti yang dijelaskan dalam konsep klasik Marketing Mix alias 4P: Product (Produk), Price (Harga), Place (Distribusi), Promotion (Promosi). Pada konsep ini, sangat ditekankan bahwa produk dan harga harus beres duluan sebelum melangkah ke tahap promosi.
Kalau sampai produknya masih setengah jadi, atau harganya nggak sesuai dengan value yang akan dirasakan konsumen, promosi seheboh apapun ujung-ujungnya cuma akan “viral sesaat”, lalu tenggelam.
Kalau ditilik lagi ke kasus JUMBO, bisa kelihatan sangat jelas kenapa JUMBO bisa sukses:
Dari sisi produk, semua aspek diperhitungkan matang-matang mulai dari ceritanya yang relatable dan heartwarming, animasi dengan kualitas yang tinggi, sampai OST-nya berhasil ngaduk-ngaduk emosi penonton dari berbagai usia.
Sedangkan dari sisi harga, JUMBO tetap bermain di harga tiket bioskop standar. Artinya, value for money-nya terasa banget. Orang merasa harga tiket yang mereka bayarkan benar-benar setimpal, bahkan mungkin melebihi ekspektasi. Sehingga, gak heran kalau ada yang nonton lebih dari 2x!
Jadi, sebelum efek viral lewat UGC dan word of mouth terjadi, dasar utamanya sudah disusun rapi: produk yang lovable, harga yang reasonable.
Karena pada akhirnya, orang cuma mau promosiin sesuatu yang bener-bener mereka suka dan merasa layak dibagikan.
Akhir kata, film JUMBO bener-bener ngajarin kita semua: kalau lo bikin sesuatu yang beneran menyentuh hati orang, mereka sendiri yang bakal jadi “buzzer” terbaik lo. Gratis, tulus, dan jauh lebih powerful.
Kalau buat gue pribadi, nonton JUMBO bukan cuma soal nonton film bagus. Tapi juga pelajaran tentang gimana kekuatan komunitas dan cerita bisa membuat sebuah produk jadi lebih laku di pasaran.